Marsinah, Cry Justice
Marsinah, Cry Justice | |
---|---|
Sutradara | Slamet Rahardjo Djarot |
Produser | Gusti Randa |
Ditulis oleh | Agung Bawantara Eros Djarot Karsono Hadi Slamet Rahardjo |
Pemeran | Megarita (Marsinah) Dyah Arum (Mutiari) Tosan Wiryawan (Hary Sarwono) Intarti (Marsini) Liem Ardianto Lesmana (Yudi Susanto) Djoko Ali (Yudi Astono) Suparno (Suprapto) Pritt Timothy (Soewono) Handoko Surya Wijaya (Bambang Wuryantoyo) Kemal Rudianto (Karyono Wongo) Djoko Ari Purnomo (Widayat) Marwito (A.S. Prayogi) |
Penata musik | Djaduk Ferianto |
Sinematografer | Yudi Datau |
Distributor | PT Gedam Sinemuda Perkasa |
Tanggal rilis | 15 November 2001 (Pusan International Film Festival) 18 April 2002 (Indonesia) 19 Juli 2003 (CINEFAN Film Festival) |
Durasi | 115 menit |
Negara | Indonesia |
Anggaran | Rp 4 miliar (perk.) |
Penghargaan |
---|
Festival Film Indonesia 2004 |
|
Marsinah, Cry Justice adalah sebuah film drama kisah nyata tahun 2002 yang diproduksi oleh PT Gedam Sinemuda Perkasa, disutradarai oleh Slamet Rahardjo Djarot. Film ini diangkat dari kisah nyata tentang Marsinah, seorang aktivis dan buruh di sebuah perusahaan jam tangan di Sidoarjo yang hilang diculik dan ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 setelah aksi unjuk rasa tegang antara buruh PT. Catur Putra Surya dengan pihak manajemen pabrik yang melibatkan anggota polisi dan militer Indonesia.
Tokoh Marsinah diperankan Megarita, seorang mahasiswa Institut Kesenian Jakarta sedangkan Mutiari diperankan oleh Diah Arum. Keduanya cukup berhasil menghadirkan adegan-adegan yang bersifat natural dalam film yang berdurasi satu jam 55 menit itu sehingga ciri khas film ini yang kuat dengan nilai kisah nyata kian mengental.
Sinopsis
[sunting | sunting sumber]Film dibuka dengan adegan unjuk rasa buruh PT. Catur Putra Surya (CPS), film bergulir dengan adegan penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh untuk meminta hak mereka.
Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknum aparat militer kerap mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh PKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tetapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.
Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.
Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.
Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ”hukuman” karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.
Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan kakak Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh adik kandungnya.
Pemeran
[sunting | sunting sumber]- Megarita sebagai Marsinah
- Diah Arum sebagai Mutiari
- Liem Ardianto Lesmana sebagai Yudi Susanto
- Djoko Ali sebagai Yudi Astono
- Suparno sebagai Suprapto
- Pritt Timothy sebagai Soewono
- Handoko Suryawijaya sebagai Bambang Wuryantoyo
- Kemal Rudianto sebagai Karyono Wongso (Ayib)
- Djoko Ari Purnomo sebagai Widayat
- Marwito sebagai A.S. Prayogi
Catatan produksi
[sunting | sunting sumber]Skenario film ini ditulis oleh Agung Bawantara, Eros Djarot, Karsono Hadi dan Slamet Rahardjo. Eksekutif produser: T.B. Maulana Husni, Direktur fotografi: Yudi Datau, penata artistik: Berthy Ibrahim Lindya, penata suara-editor: Tri Rahardjo, dan penata musik: Djaduk Ferianto.
Film berbiaya sekitar Rp 4 miliar ini sempat menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu ditunda. Produser film ini juga disomasi oleh mantan Kepala Seksi (Kasi) Intel Kodim 0816/Sidoarjo Kapten (Inf) Sugeng dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.
Proses pascaproduksi, mulai mixing, hingga pemrosesan film dikerjakan di Interpratama Studio Lab di Jakarta dan Cinecolor Lab di Bangkok, Thailand. Proses penataan audio dikerjakan di Cinecolor Digital Studio di Bangkok.
Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter.
Nominasi dan penghargaan
[sunting | sunting sumber]Film ini mendapatkan beberapa nominasi dalam FFI 2004.
Penghargaan | Tahun | Kategori | Penerima | Hasil |
---|---|---|---|---|
Festival Film Indonesia | 2004 | Film Terbaik | Slamet Rahardjo | Nominasi |
Sutradara Terbaik | Slamet Rahardjo | Nominasi | ||
Aktor Terbaik | Tosan Wiryawan | Nominasi | ||
Aktris Pendukung Terbaik | Megarita | Nominasi | ||
Skenario Terbaik | Agung Bawantara, Eros Djarot, Karsono Hadi, Slamet Rahardjo | Nominasi | ||
Sinematografi Terbaik | Yudi Datau | Nominasi | ||
Penata Artistik Terbaik | Berthy Lindia Ibrahim | Menang |
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Marsinah, Cry Justice di IMDb (dalam bahasa Inggris)
- (Indonesia) Marsinah Simbol Pencari Keadilan yang Terlupakan Diarsipkan 2007-03-12 di Wayback Machine., Sinar Harapan
- (Indonesia) Marsinah Digugat, Pemutaran Filmnya Ditunda Diarsipkan 2007-09-30 di Wayback Machine., Sinar Harapan
- (Indonesia) Film Marsinah Proyek Idealis Diarsipkan 2005-11-22 di Wayback Machine., Bernas